Yang Lucu Dari Pelaksanaan UN di Negeri Ini! - Salah satu hajatan paling menarik dalam dunia pendidikan adalah pelaksanaan ujian nasional (UN), selain penerimaan peserta didik baru, tentunya.
Kenapa menarik? Karena hampir semua upaya baik tenaga, waktu, materi bahkan emosi dari berbagai elemen yang punya kepentingan tercurahkan. Pemerintah tentu sangat berkepentingan dengan agenda nasional ini agar berjalan sukses dan lancar, syukur-syukur hasilnya memuaskan.
Pemerintah daerah saling berlomba mencapai prestasi dan prestise agar daerahnya menduduki peringkat nomor wahid di jagat Nusantara ini. Orangtua siswa sangat berharap anaknya mampu lulus dengan nilai cemerlang, harapan ini didominasi hasrat agar anak dapat dengan mulus melanjutkan ke sekolah lanjutan terbaik.
Di tingkat pelaksana, tiap sekolah berusaha keras bahkan kadang menempuh cara-cara ekstrem antara lain mengkarantina siswanya dengan periode waktu tertentu. Para pendidik diwanti-wanti bahkan didikte agar terus menggembleng para siswa untuk lulus dengan nilai yang membanggakan.
Semua terus menerus seperti itu, berputar-putar membentuk lingkaran statis. Saya ingat dulu waktu masih sekolah di bangku lanjutan atas, H-7 sampai H-1 adalah periode waktu sangat krusial. Banyak yang berusaha keras bahkan sampai melakukan ritual-ritual bernuansa mistis. Tidak sedikit yang pergi ke “orang pintar” untuk mandi kembang, minta banyu panarang hati, sampai marajah pensil yang akan dipakai waktu ujian.
Belum lagi yang berburu kunci jawaban walaupun kemudian itu hanya tipuan. Orang yang menjual kunci bilang, “kalau nomor 1 jawabannya benar maka kunci itu jawabannya benar semuanya”.
Celakanya mereka tidak tahu jawaban yang benar soal nomor 1 waktu ujian. Alhasil, sukseslah untuk tidak lulus.
Apa yang sebenarnya terjadi dengan UN?
Sebuah teknik evaluasi yang dianggap mampu memetakan kemampuan peserta didik di Nusantara ini. Padahal, pelaksanaan UN selalu menuai berpuluh pujian di antara beribu kritik, masalah dan hujatan. UN 2013 inipun tidak luput dari berbagai masalah, mulai dari pra-UN, penundaan jadwal pelaksanaan sampai dengan pasca-UN nanti.
Sampai kapan siswa menjadi korban dari ketidaksiapan dan ketidakseriusan pemerintah dalam mengelola pendidikan di negeri ini. UN sudah menjadi momok sangat menakutkan bagi siswa.
Untuk tahun ini, UN malah diperketat. Jika sebelumnya hanya membuat lima paket soal di setiap ruangan, kini akan terdapat 20 paket soal dalam setiap ruangan. Wiii .. seremmm. Konon itu salah satu upaya pemerintah meningkatkan kredibilitas UN sebagai salah satu alat mengukur keberhasilan pendidikan di Indonesia, yang pada gilirannya akan digunakan untuk menentukan pembuatan kebijakan dalam dunia pendidikan.
Kepala Pusat Penerangan Pendidikan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Hari Setiadi mengatakan antara kelas A dan kelas B bisa jadi soalnya berbeda karena jumlah variasi paket soal setiap provinsi sebanyak 30 buah. Namun, dalam ruangan kelas tetap ada 20 variasi paket soal yang digunakan.
Misal, ada 20 orang maksimum di kelas itu, ya, 20 soal berbeda. Namun, tidak hanya 20 paket kalau untuk keseluruhannya. Jadi, kemungkinan, satu ruang ujian dengan ruang ujian sebelahnya berbeda juga. Kalaupun sama tidak terlalu identik.
Meski naskah soal UN memiliki banyak paket, pihak penyelenggara tetap meyakinkan bahwa tingkat kesulitannya tetap sama antara satu soal dan soal yang lainnya. Komposisi soalnya sendiri terdiri dari 70 persen soal sedang, 20 persen soal sulit, dan 10 persen soal mudah.
Teknis yang begitu ruwet ternyata harus berbuntut dengan penundaan pelaksanaan UN di sebelas provinsi karena ketidaksiapan cetak lembaran soal dan distribusinya.
Hal ini hanya salah satu bukti ketidaksiapan yang punya hajat, dalam hal ini pemerintah. Padahal pemerintah sudah menghabiskan dana sebesar Rp 94.885.352.747 hanya untuk proses pengadaan dan pendistribusian soal UN.
Beberapa provinsi di Indonesia yang sistem pencetakan materi soal UN tergabung dalam Rayon III, mengalami penundaan UN. Provinsi yang tergabung dalam Rayon III itu adalah Bali, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Nusa Tenggara Timur, NTB seluruh provinsi di Pulau Sulawesi, Gorontalo.
Penundaan UN merupakan wewenang Kemendikbud karena sistem pencetakan materi UN dilakukan Panitia Pusat. Beberapa tahun lalu, pencetakan soal memang dilakukan oleh Pantia Daerah Provinsi, sehingga tidak ada masalah dalam pendistribusian materi UN karena Pemprov lebih mengetahui kondisi di daerah sehingga antisipasinya juga tinggi.
Sekjen FSGI Retno Listyarti mengatakan, persoalan tidak hanya pada hal teknis seperti pendistribusian soal, namun juga pada persiapan siswa dan sekolah yang mulai diwarnai aktivitas yang bersifat irasional berupa ritual-ritual bernuansa mistik.
Misalnya mandi kembang, minum minuman yang dipercaya bisa meluluskan, pergi ke paranormal dan lain-lain. Dia menilai cara-cara irasional ini dilakukan siswa dan sekolah tersebut karena mereka merasa tidak yakin dengan kemampuan diri dalam menghadapi UN. Akibatnya mereka lari ke cara-cara yang justru irasional.
Bagaimana bisa disamakan peserta didik yang sekolah di gedung bertingkat dengan berbagai fasilitas dan difasilitasi pendidik yang titelnya beruntun dengan sekolah yang seadanya dan apa adanya. Itu sama saja menyuruh berlomba antara mobil Ferrari dengan mobil yang biasa. Sungguh lucu pelaksanaan UN, mungkin hanya di negeri) ini.
Di Kanada misalnya, tidak ada UN karena dianggap tak bermanfaat untuk kemajuan pendidikan di negara itu. Dari hasil kunjungan kerja Komisi X DPR RI terkait RUU Pendidikan ke Belanda dan Kanada, menyebutkan tidak ada UN di negara tersebut.
Konon, Kanada pernah mengalami keruwetan sistem pendidikan seperti di Indonesia. Di sana, pendidikan konsentrasi pada penataan SDM.
Di Kanada terdapat penjaminan mutu pendidikan yang kontrolnya sangat kuat. Lembaga penjamin mutu ini benar-benar bekerja secara ketat dari pendidikan dasar hingga menengah. Sehinga murid yang akan masuk ke perguruan tinggi cukup dengan rapor terakhir.
Yang mendesak dilakukan sekarang adalah meningkatkan kualitas sekolah, terutamanya guru-gurunya. Bahkan kalau boleh jujur nilai para guru yang di-UKG (uji kompetensi guru) mungkin masih lebih baik nilai UN anak didiknya.
Bagaimana kita mau mencetak anak cemerlang dengan kondisi pendidik sekarang? Pemerintah juga harus lebih selektif dalam memberikan izin pendirian sekolah atau lembaga pendidikan. Misalnya, dengan mengharuskan persyaratan tertentu untuk staf pengajarnya, fasilitas laboratorium, dan sebagainya. (*)
Sumber: Banjarmasin Post Edisi Cetak
This article originally appeared in : Lucunya UN di Negeri Ini!
No comments:
Post a Comment