Juan Carlos Tomasi/MSF
Anak-anak menjadi pengungsi di kota Bouca, Republik Afrika Tengah, akibat konflik bersenjata di wilayah itu.
Saat Ini Sedang Terjadi Genosida Terhadap Umat Islam di Republik Afrika Tengah - Amnesti Internasional, Rabu (12/2/2014), mengeluarkan peringatan bahwa saat ini sedang terjadi genosida terhadap umat Islam di Republik Afrika Tengah. Pembersihan itu mendorong eksodus kalangan menengah Muslim dari negara itu.
Pasukan penjaga internasional, menurut Amnesti Internasional juga gagal mencegah pembersihan etnis terhadap komunitas Muslim di Afrika Tengah. Peringatan organisasi itu juga didukung pernyataan dari Human Right Watch.
Pada hari yang sama, Human Right Watch mengatakan populasi minoritas Muslim di negara itu telah menjadi sasaran gelombang kekerasan tanpa henti yang terkoordinir. "Memaksa komunitas tersebut meninggalkan negara itu," kata Human Right Watch.
Republik Afrika Tengah adalah bekas koloni Perancis. Negara itu jatuh ke dalam kekacauan pada tahun lalu setelah koalisi oposisi yang didominasi Muslim, Seleka, menggulingkan Pemerintah Presiden Fancois Bozize, dan berkuasa selama 10 bulan.
Namun, kubu oposisi itu disingkirkan oleh kubu oposisi Kristen yang dikenal sebagai "Anti-Balaka" yang kemudian mengisi kekosongan kekuasaan. Transisi kekuasaan ini, kata Amnesty Internasional, menjadi awal dari konsekuensi mengerikan bagi para Muslim pada periode sesudahnya.
"Milisi Anti-Balaka melakukan serangan kekerasan dalam upaya pembersihan etnis Muslim di Republik Afrika Tengah," kata Joanne Mariner, Penasihat Senior Respons Krisis Amnesti Internasional. "Hasilnya adalah eksodus Muslim dalam proporsi yang bersejarah."
Amnesti Internasional mendesak pasukan penjaga perdamaian internasional yang ditempatkan di Afrika Tengah berbuat lebih banyak untuk melindungi komunitas Muslim dan mengendalikan milisi Anti-Balaka.
Saat ini ada 1.600 tentara Perancis di negara itu, bersama sekitar 6.000 tentara dari pasukan penjaga perdamaian di bawah bendera Uni Afrika yang dikenal sebagai MISCA. Menurut Amnesti Internasional, serangan terhadap komunitas Muslim tersebut sudah dapat diperkirakan dan harus dicegah.
"Dalam kekuasaan 10 bulan, Seleka bertanggung jawab atas pembantaian, eksekusi di luar hukum, pemerkosaan, penyiksaan dan penjarahan, serta pembakaran besar-besaran dan penghancuran desa-desa Kristen," tulis Amnesti Internasional dalam laporannya.
"Setelah Seleka mundur, pasukan internasional memungkinkan milisi Anti-Balaka untuk mengambil kendali di setiap kota. Hasilnya, kekerasan dan pengusiran paksa komunitas Muslim." Amnesti Internasional menyusun laporan ini dengan mewawancarai langsung 100 orang yang menyaksikan langsung kekerasan terhadap Muslim di Afrika Tengah.
Kekerasan tertarget
Kekerasan terburuk didokumentasikan terjadi di utara kota Bossemptele, dengan korban jiwa dari satu lokasi dan satu peristiwa mencapai 100 orang pada Januari 2014. Korban tewas mencakup perempuan dan lelaki tua, termasuk imam setempat yang berusia lebih dari 70 tahun.
Kota-kota dengan populasi Muslim di dalamnya yang mendapatkan serangan gencar bersenjata adalah Bouali, Boyali, dan Baoro. Para pengamat mengkhawatirkan perkembangan situasi di Afrika Tengah akan mengulang tragedi genosida di Rwanda, sekitar dua dasawarsa silam.
Antonio Guterres, kepala Badan Pengungsi PBB, mengatakan dia telah melihat bencana kemanusiaan dengan proporsi tak terkatakan di Afrika Tengah. "Pembersihan masif etno-religius," sebut dia. Guterres menyebutkan pembunuhan tanpa pandang bulu dan pembantaian telah terjadi, dengan kebiadaban dan kebrutalan yang mengejutkan.
"Sangat menyedihkan bahwa hampir setengah juta orang Afrika Tengah terlantar, sejak Desember 2013 saja. Total (sejak konflik terjadi), ada 2,5 juta orang," kata Guterres. Puluhan ribu orang, ujar dia, mengungsi dari kampungnya tetapi kemudian terjebak tanpa tujuan. Di Bangui saja, kata dia, ribuan orang berada di dalam ghetto dengan kondisi memprihatinkan.
Human Right Watch menyoroti pilihan bahsa yang digunakan milisi Anti-Balaka. Menurut organisasi itu, dari bahasa tersebut terlihat niat mereka menghilangkan Muslim dari negara itu. "Pada tingkat ini, dengan kekerasan yang ditargetkan, tidak akan ada Muslim tersisa di Republik Afrika Tengah," kata Peter Bouckaert, Direktur Kondisi Darurat Human Right Watch.
"Orang-orang yang keluarganya telah tinggal di negara itu dengan damai selama berabad-abad, dipaksa meninggalkan kampung atau melarikan diri dari ancaman kekerasan yang sangat nyata atas mereka," imbuh Bouckaert.
Daerah penghasil emas, Yaloke, yang sebelum konflik berpenduduk 30.000 Muslim dengan 8 masjid, menurut Bouckaert pada pekan lalu hanya menyisakan 500 Muslim dan 1 masjid.
Organisasi Bantuan Medis, Doctors Without Borders, pekan lalu menyatakan pula bahwa, "Telah terjadi kekerasan pada tingkat ekstrem yang belum pernah terjadi sebelumnya atas warga Muslim dan terjadi bentrok di kalangan milisi Kristen."
Doctors Without Borders mengatakan konflik di Afrika Tengah memang kompleks dengan dampak yang dirasakan semua komunitas. Namun, ujar mereka, minoritas Muslim lebih ditargetkan menjadi sasaran kekerasan itu.
"Di banyak kota , kelompok-kelompok Muslim terisolasi dan terancam oleh kekuatan-kekuatan Anti-Balaka sementara puluhan ribu umat Islam telah meninggalkan negara itu ke pengasingan di Chad atau Kamerun."
Kepala Jaksa Pengadilan Pidana Internasional, Fatou Bensouda, Jumat (7/2/2014), mengatakan telah membuka penyelidikan baru atas tuduhan pelecehan serius di negara tersebut. "Dalam banyak kejadian, korban terlihat sengaja ditargetkan berdasarkan agama."
Sikap internasional
Washington Post, Senin (10/2/2014), memuat opini yang ditulis bersama oleh Presiden Amerika Barack Obama dan Presiden Perancis Francois Hollande. Kedua negara menyatakan bekerja sama mengatasi krisis di Afrika Tengah. Tulisan itu dibuat di sela kunjungan Hollande ke Washington, Amerika Serikat.
Bulan lalu, Dewan Keamanan PBB memutuskan akan melanjutkan pengiriman pasukan penjaga perdamaian dan mengizinkan penggunaan kekuatan bersenjata oleh pasukan Uni Eropa di Afrika Tengah. Keputusan ini dibuat setelah Wali Kota Bangui, Catherine Samba-Panza, ditunjuk menjadi Presiden sementara Afrika Tengah.
Panza menggantikan Michel Djotodia, pemimpin Seleka yang merebut kekuasaan pada Maret 2013 untuk mundur pada Januari 2014 setelah gagal menghentikan peningkatan kekerasan. Kudeta tahun lalu merupakan insiden terbaru dalam serangkaian konflik bersenjata yang terjadi di negara itu sejak 1960-an.
This article originally appeared in : Genosida Ancam Muslim di Afrika Tengah | Banjarmasin Post | Kamis, 13 Februari 2014 10:29 WITA
No comments:
Post a Comment