Petaka Politik Jokowi - Deklarasi Joko Widodo (Jokowi) sebagai calon presiden 2014 yang diusung oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), dilatarbelakangi oleh terus meroketnya elektabilitas yang bersangkutan. Ekses pengumuman Jokowi sebagai calon presiden sebelum pemilu legislatif, diprediksi bisa mendongkrak elektabilitas PDIP.
Menurut sejumlah hasil sigi beberapa lembaga survei, jika PDIP memasang Jokowi sebagai calon presiden sebelum pemilu legislatif, elektabilitas partai itu bisa mencapai 27-35 persen. Sedangkan jika Jokowi tidak dicalonkan atau pengumumannya setelah pemilu legislatif, elektabilitas partai itu paling tinggi di angka 19,6 persen.
Dampak lain, ini juga dapat dilihat dari respons sektor ekonomi. Pada hari deklarasi, terjadi Penguatan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dari 4726,2 menjadi 4878,6 naik 152 poin. Juga, terjadi penguatan rupiah terhadap dolar dari 11.440 menjadi 11.350 atau menguat 135 poin.
Faktor yang mempengaruhi elektabilitas Jokowi meroket, yakni didasari oleh kriteria yang diingini publik selama ini, seperti pemimpin yang bisa dipercaya atau jujur, sikap peduli rakyat dan memiliki kompetensi sebagai pemimpin. Sedangkan kualitas personal lain, seperti tegas, berwibawa, pintar, dianggap kurang dianggap penting oleh publik.
Respons ini sebagai bukti, bila publik memberikan harapan besar kepada Jokowi untuk menjadi pemimpin dan membawa negara ini lebih baik. Atensi publik semakin menegaskan bila sosok figur politik menjadi lebih penting ketimbang partai politik. Gejala yang merupakan konsekuensi logis dari modernisasi kampanye politik menjadikan ideologi dan cleavages sosial tidak lagi memadai untuk menjelaskan perilaku memilih.
Pendek kata, sosok fenomenal Jokowi saban hari telah menjelma menjadi tokoh kontroversial, sekaligus dipuja banyak kalangan. Di saat politik Indonesia penuh dengan sindrom amoralitas, seperti koruptif-suap, perselingkuhan dan narkoba, Jokowi telah mampu menarik atensi dan partisipasi publik.
Terobosan Jokowi dengan mengedepankan blusukan, transparansi dalam tata kelola pemerintahan menjadikan figurnya semakin menguat. Figur Jokowi juga dipercaya oleh peneliti politik dapat menarik atensi partisipasi publik, terutama pemilih pemula. Bila hasil pemilu legislatif nanti terdapat relasi positif dari figur Jokowi dengan partisipasi pemilih pemula, artinya nalar politik pemilih pemula juga dihinggapi demam figur politik.
Popularitas, elektabilitas, dan ekspos media juga turut mempengaruhi preferensi publik terhadap Jokowi. Publik menilai kepemimpinan Jokowi telah menjadi antitesa dari kepemimpinan nasional saat ini. Tingginya persentase publik yang menyukai Jokowi ini, salah satunya tidak lepas dari masifnya ekspos media. Jokowi telah menjadi media darling atau disayang oleh media. Dampaknya, pemberitaan sangat memengaruhi preferensi publik baik popularitas dan elektabilitas Jokowi.
Liddle dan Mujani (2007) menyatakan, perilaku pemilih Indonesia sangat dipengaruhi elektabilitas kandidat capres, yang nantinya berpengaruh terhadap elektabilitas partai. Ketokohan atau faktor kandidat sangat menentukan elektabilitas partai. Figur masih menjadi magnet yang paling memikat publik, bukan ideologi apalagi program partai. Jadi, elektabilitas partai menjadi sangat bergantung pada ketokohan sang figur politik.
Fenomena ini sebenarnya tak terlalu mengherankan jika kita melihat satu gejala deparpolisasi dalam langgam politik di Indonesia pasca-1998. Partai-partai politik di Indonesia bisa dikatakan telah kehilangan akarnya dan mati suri, dalam nalar politik publik. Telah terjadi penurunan besar-besaran angka partisanship dari pemilu ke pemilu. Partisanship bisa diartikan sebagai identifikasi kepartaian (Party ID).
Mengutip Saiful Mujani dan William Liddle dalam Personality, Party and Voter (2010) menunjukkan, pada 2004 angka partisanship di Indonesia hanya bertengger pada kisaran 60 persen. Angka ini terus menurun dan pada 2009 menjadi hanya sekitar 22 persen. Jatuhnya identitas kepartaian (Party ID) secara signifikan tersebut bisa diartikan sebagai bentuk kekecewaan masyarakat terhadap eksistensi partai politik di Indonesia.
Petaka Politik
Peta(ka) politik dari ekses deklasasi ini dapat kita analisa, bahwa dalam nalar partai politik akan terus mengutamakan figur populer dalam setiap kontestasi politik. Figur yang memiliki popularitas seperti para selebritas, akhirnya pelan-pelan akan menggusur kader partai yang berkualitas namun tidak populer. Popularitas yang menggiurkan menjadikan parpol berharap tuah keberuntungan terjadi dari figur kaum selebritas.
Peta(ka) berikutnya adalah, apakah wajah dan sistem politik Indonesia dapat berubah sekalipun Jokowi menjadi presiden? Ini dapat dilihat dari presiden hasil Pilpres 2014 apakah masih tetap mengedepankan memilih jalan pemerintahan koalisi atau tidak. Bila capres pemenang 2014, tetap mengutamakan koalisi besar, maka presidennya masih tersandera oleh koalisi, seperti ditunjukkan pada era Susilo Bambang Yudhoyono saat ini. Berarti kemunduran bagi sistem politik Indonesia, sebab logika oposisi tidak dapat berkembang secara ideal.
Terakhir, deklarasi Jokowi sebagai capres akan menjadi pertaruhan mentalitas para elite politik lainnya. Seakan pencapresan ini menakutkan sejumlah elite politik populis dan oligarkis. Karena itu, kepanikan dan ketakutan tersebut membuat segelintir elite politik buru-buru menolak wacana pencapresan Jokowi. Dalihnya, mulai dari pembelahan sosial ihwal suku, ras, tuntutan agar tetap menuntaskan tugasnya di Jakarta sampai minimnya pengalaman Jokowi memimpin negara.
Oleh sebab itu, menjelang 2014 kita berharap segenap elemen bangsa tidak menggunakan nalar dan retorika politik perseteruan. Publik juga dituntut untuk mengawal, agar proses regenerasi kepemimpinan nasional dapat tetap berada dalam koridor untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat.
Semoga, deklarasi ini menjadi titik awal kita dalam menemukan sosok pemimpin yang dapat membawa re(publik) ini lebih baik.
This article originally appeared in : Jokowi dan Peta(ka) Politik | banjarmasin.tribunnews.com | Selasa, 18 Maret 2014 00:54 WITA
No comments:
Post a Comment