Jaminan kesehatan nasional atau pemalakan kesehatan nasional? - Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang digembar gemborkan pemerintah, sejumlah kejanggalan sudah cukup banyak dirasakan masyarakat dan para tenaga kesehatan. Mulai dari banyak sekali masyarakat yang keberatan dipungut secara paksa untuk iuran JKN, rumah sakit yang sudah dapat diprediksi kerugiannya, hingga para dokter termasuk dokter spesialis yang jasanya ditarif sangat murah sekali. Miris. Selain pemerintah, hanya sedikit dari sebagian masyarakat Indonesia yang antusias terhadap asuransi sosial yang lebih seperti pemalakan ini.
Masyarakat Indonesia yang kebanyakan Muslim barang tentu paling merasakan kejanggalan JKN ini. Tidak harus menunggu sampai lima tahun ke depan, sebaiknya dari sekarang kita sebagai muslim meninjau sejauh mana kebaikan atau bahkan kemudharatan dari program JKN yang dijalankan oleh BPJS dan pemerintah ini.
Pertama, JKN merupakan asuransi sosial. Ini artinya seluruh masyarakat Indonesia dipaksa untuk menjadi peserta asuransi kesehatan. Mau tidak mau. Hukuman pidana menanti jika tidak mau membayar asuransi ini. Padahal di dalam Islam, asuransi merupakan praktik muamalah yang tidak dikenal. Hukum penjaminan dalam Islam harus jelas tentang siapa penjaminnya, siapa yang dijaminnya dan apa jaminannya. Bukan lantas seseorang menjamin dirinya sendiri bahkan untuk hal yang spekulatif seperti dalam praktik-praktik asuransi sekarang ini. Pada faktanya pula, pelayanan kesehatan dalam JKN ini tidak secara komprehensif diberikan. Tidak semua kasus kesehatan seperti korban bencana dan general check up yang juga banyak dibutuhkan oleh masyarakat tidak termasuk ke dalam pelayanan kesehatan yang ada pada JKN.
Kedua, kesehatan merupakan kebutuhan pokok selain pendidikan dan keamanan yang harus dipenuhi oleh pemerintah. Tidak seperti dalam pemahaman ideologi Barat yang sekuleristik, dalam Islam, pemerintah diangkat untuk melayani masyarakat. Haram menarik iuran dari masyarakat untuk biaya pajak, kesehatan, keamanan dan pendidikan di saat yang sama menjual asset milik negara dan masyarakat kepada swasta asing sehingga membuat sebagian besar pemasukan APBN berasal dari pungutan pajak. Jelaslah Rasul Shallalahu ‘alaihi wa sallam bersabda “Imam adalah pemelihara dan dia bertanggungjawab atas rakyatnya.” (HR al-Bukhari dari Abdullah bin Umar).
Ketiga, uang rakyat yang dikumpulkan dari JKN ini diputarkan untuk investasi. Sayangnya perputaran untuk investasi ini bisa digelontorkan untuk bisnis yang halal atau yang haram. Atau bahkan uang yang jumlahnya tidak sedikit ini bisa saja diputarkan di sektor ril atau sektor non ril yang spekulatif. Selain pertaruhan untung rugi, sektor non ril sangat syarat dengan praktik ribawi dalam perputaran uang seperti pada bursa saham dan praktik spekulatif lainnya. Padahal dalam Islam, sekalipun uang itu diakadkan oleh masyarakat untuk berbisnis, ada rambu-rambu syari’at yang harus diperhatikan. Seperti siapa saja penanam modalnya, siapa saja pengelolanya dan akan diputarkan pada bisnis apa uang itu. Lagipula, dalam bisnis, tentu hasilnya tidak selalu untung. Yang jadi soal, jika rugi, bagaimana nasib masyarakat yang niatnya ingin dipenuhi kebutuhan kesehatannya malah tersandung dengan kerugian JKN dalam memutarkan uangnya? Memang pemerintah bisa menyuntikkan dana talangan seperti pada kasus BLBI dan Century, namun tentu perkaranya tidak semudah itu. Hal ini sangat memungkinkan memunculkan para kriminal korupsi seperti pada pengalaman sebelumnya. Hingga kini saja, kasus BLBI dan Century tidak jelas ujungnya.
Sungguh, masyarakat Indonesia, yang kebanyakan Muslim, tidak pantas mengambil negara-negara Barat sebagai percontohan pemenuhan pelayanan kesehatan untuk rakyatnya. Selain terjadinya krisis dan kesenjangan sosial yang tinggi di Barat, banyak praktik-praktik muamalah dalam JKN yang ternyata jelas keharamannya jika diterapkan oleh seorang muslim. Mudah-mudahan kita bisa meneladani bagaimana dulu Rasul, para sahabat dan kepala-kepala negara khilafah Islam pernah menjalankan pemenuhan pelayanan kesehatan yang sangat baik. Masyarakatnya makmur, negerinya berkah. Aamiin. Wallaahu a’lam.
This article originally appeared in : Jaminan kesehatan nasional atau pemalakan kesehatan nasional? | arrahmah.com | Oleh: Rahmi Rahmawati, ibu rumah tangga, Muslimah HTI | Selasa, 19 Rabiul Awwal 1435 H / 21 Januari 2014 06:03
No comments:
Post a Comment