Gerak cepat pemerintah Joko Widodo-Jusuf Kalla dalam menangani persoalan bahan bakar minyak bersubsidi patut diacungi jempol. Dalam jangka pendek, menengah, dan panjang, berbagai kebijakan baru ini akan memberikan dampak positif bagi perekonomian Indonesia.
Pada awal tahun ini, pemerintah menurunkan harga Premium dan solar, mengikuti penurunan harga minyak internasional. Hanya solar yang kini disubsidi dan angkanya tetap. Berapa pun harga solar, pemerintah hanya mau tombok Rp 1.000 per liter. Perubahan harga Premium dan solar akan dilakukan setiap bulan, mengikuti perkembangan harga minyak dunia.
Dampak kebijakan baru itu akan sangat signifikan. Dengan volume penjualan solar yang dibatasi 17 juta kiloliter pada 2015, pemerintah hanya akan mengeluarkan subsidi sebesar Rp 17 triliun. Angka tersebut jauh lebih kecil dibanding dana subsidi dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2015 sebesar Rp 276,1 triliun.
Penghematan ini akan memberikan ruang fiskal yang sangat lebar. Hal ini memungkinkan pemerintah mempercepat pembangunan infrastruktur di sejumlah daerah, terutama di bidang pertanian dan pengairan, serta transportasi nasional. Berbagai kebijakan ini mengharuskan pemerintah segera mengajukan Rancangan APBN Perubahan 2015 agar anggaran baru nanti bisa segera direalisasi.
Masyarakat juga akan dibiasakan dengan naik-turunnya harga bahan bakar minyak. Setidaknya, hal ini akan meminimalkan gejolak harga dan gejolak sosial. Selama ini, setiap kenaikan harga BBM bersubsidi selalu diikuti demonstrasi dan lonjakan harga barang kebutuhan pokok. Efek kebijakan baru ini juga akan positif bagi pengendalian inflasi.
Meski demikian, pemerintah tetap harus berupaya mengendalikan konsumsi BBM. Tak bisa dimungkiri, produksi minyak kita cenderung stagnan. Sebaliknya, konsumsi BBM terus meningkat seperti yang tecermin dari impor minyak. Pada 2010, impor minyak mentah dan BBM masih US$ 2,2 miliar per bulan. Namun tiga tahun kemudian angkanya mencapai US$ 3,5 miliar. Hal ini berdampak buruk pada nilai tukar rupiah, neraca perdagangan, dan neraca transaksi berjalan.
Karena itu, program pengendalian konsumsi yang sudah dirancang selama ini tak boleh ditunda atau dibatalkan. Pengembangan program RFID (radio frequency identification), misalnya, sangat diperlukan untuk mencegah penyalahgunaan solar bersubsidi di wilayah perkebunan dan pertambangan.
Begitu pula pengendalian konsumsi BBM di Jakarta dan sekitarnya, di antaranya melalui pajak progresif, yang bisa memecahkan masalah konsumsi sekaligus kemacetan lalu lintas. Soalnya, konsumsi BBM per kapita di wilayah ini merupakan yang tertinggi di Indonesia.
Penggunaan gas untuk transportasi dan pengembangan energi alternatif juga harus terus digalakkan. Kebijakan di bidang energi alternatif ini akan semakin melengkapi berbagai kebijakan baru pemerintah Jokowi-JK. Hanya dengan cara itu, Indonesia bisa mengurangi ketergantungan pada BBM. *
This article originally appeared in : Kebijakan Baru BBM | tempo.co | Kamis, 01 Januari 2015 | 21:44 WIB
No comments:
Post a Comment