Bekasi, Kota ini selalu berjalan di dua sisi: satu kakinya menapak pada mimpi modernitas, satu lagi bergulat dengan realitas yang tidak selalu manis. Di simpang-simpang jalan yang penuh debu industri, di sudut-sudut perkampungan yang bersetia pada tanah warisan leluhur, di kawasan pabrik yang tidak pernah tidur — Bekasi menyimpan cerita-cerita yang tidak pernah masuk kalender pemerintah, tetapi hidup dalam napas warganya.
Salah satu cerita itu bernama kriminalisasi.
Kriminalisasi bukan sekadar proses hukum, tetapi sering kali menjadi cara halus menyingkirkan yang kecil, menekan yang lemah, atau membungkam yang tak ingin diam. Di Bekasi, kata ini menjelma dari isu sengketa lahan, perseteruan warga dengan pengembang, gesekan buruh dengan perusahaan, hingga konflik sosial yang mengerucut menjadi ancaman pidana.
Ketika malam merapat di bantaran Kali Bekasi, banyak warga mungkin bertanya hal yang sama: “Sampai kapan kota ini harus berjalan di bawah bayang-bayang?”
Gelombang Kriminalisasi: Wajah Sunyi yang Jarang Dibahas
Kriminalisasi di Bekasi tidak datang dalam bentuk satu wajah. Ia hadir dalam aneka rupa — kadang sebagai laporan polisi yang dibuat sepihak, kadang sebagai intimidasi yang disamarkan sebagai penegakan aturan, dan kadang sebagai tekanan struktural atas nama kepentingan yang lebih besar.
Semakin keras seseorang mempertahankan hak, semakin tinggi pula risiko kriminalisasi.
Padahal, dalam demokrasi yang matang, suara rakyat seharusnya dilindungi — bukan dipidana.
Konflik Lahan Bekasi: Api yang Tak Pernah Padam
Jika kriminalisasi adalah asap, konflik lahan Bekasi adalah bara yang menyala di bawahnya.
Bekasi tumbuh terlalu cepat, tidak selalu terencana, dan kerap mengorbankan kelompok yang paling dekat dengan tanah: para petani, pemilik kavling kecil, warga adat non-formal, dan penduduk yang secara turun-temurun tinggal di sana meski belum bersertifikat resmi.
Di rawa-rawa yang sudah ditimbun untuk perumahan elite, di sawah-sawah yang dicap "prioritas industri", di kampung-kampung yang sudah diincar pengembang bertahun-tahun — konflik lahan seperti menjadi rutinitas yang dipaksa diterima.
Dan dalam konflik ini, kriminalisasi sering muncul sebagai alat penekan:
Warga yang menolak relokasi tiba-tiba dituduh menguasai tanah negara.
Penduduk yang mempertahankan batas kavling dilaporkan karena dianggap menyerobot.
Kelompok yang memprotes bau limbah disangka menghasut.
Semua terasa seperti jalan pintas untuk memenangkan pertarungan tanpa dialog.
Buruh Kontrak Bekasi: Di Antara Pabrik, Tekanan, dan Ancaman Pelaporan
Bekasi adalah jantung industri. Dari Cikarang sampai Tambun, dari Babelan hingga Cibitung, ribuan pabrik berjajar bagai tembok baja. Namun di balik gemerlapnya angka produksi, ada jutaan buruh yang berjuang mempertahankan martabat kerja.
Buruh kontrak Bekasi, terutama yang masa kerjanya puluhan bulan tanpa kejelasan status, adalah kelompok yang paling rentan. Mereka yang menuntut hak lembur, mempertanyakan pemotongan gaji, atau meminta kejelasan perpanjangan kontrak kerap menghadapi ancaman yang samar-samar:
"Kalau ribut, nanti kamu yang dipolisikan."
"Kalau bikin gaduh, bisa kena pasal pencemaran nama baik."
"Kalau protes di media sosial, hati-hati… perusahaan bisa bertindak."
Ini bukan sekadar hubungan kerja. Ini relasi kuasa yang timpang.
Dan lagi-lagi, kriminalisasi ikut berjalan dalam diam.
Dampak Kriminalisasi di Bekasi: Luka yang Menganga di Bawah Kulit Kota
Kriminalisasi bukan hanya kasus hukum. Ia menciptakan luka sosial yang panjang, dan dampaknya menyelinap ke banyak sisi:
1. Hilangnya Rasa Aman
Warga menjadi takut bersuara, takut protes, takut mempertahankan hak. Di kota yang sehat, suara rakyat adalah energi. Di kota yang dihantui kriminalisasi, suara itu menjadi bisikan.
2. Ketidakpastian Ekonomi
Buruh tidak berani menuntut hak. Petani tidak berani mempertahankan lahan. Warga tidak berani menolak pembangunan yang merugikan. Pada akhirnya, kesejahteraan mereka merosot.
3. Konflik Horizontal
Ketika kriminalisasi dianggap sebagai instrumen kekuasaan, warga mulai curiga pada sesama. Yang pro dan kontra terpecah. Bekasi menjadi ruang penuh kecurigaan.
4. Menurunnya Kepercayaan Publik
Kepercayaan pada aparat, lembaga hukum, dan pemerintah tergerus. Masyarakat mulai merasa sendirian dalam menghadapi ketidakadilan.
Semua ini seperti benang kusut yang makin lama makin sulit diurai.
Solusi Kriminalisasi: Jalan Panjang yang Harus Dibangun Bersama
Tidak ada solusi instan, tetapi ada fondasi yang bisa mulai dibangun:
1. Transparansi Lahan dan Digitalisasi Arsip Agraria
Semakin jelas batas tanah, semakin kecil peluang konflik. Bekasi butuh sistem peta digital yang akurat, terbuka, dan tidak bisa dimanipulasi.
2. Penguatan Serikat Buruh
Buruh kontrak Bekasi harus punya tempat berlindung. Serikat adalah suara kolektif yang mampu mencegah kriminalisasi berbasis tekanan perusahaan.
3. Reformasi Regulasi Krusial
Kriminalisasi yang memakai pasal karet — seperti pencemaran nama baik atau keributan — harus dikaji ulang. Regulasi harus melindungi warga, bukan menyerang.
4. Mediasi Independen
Setiap konflik lahan Bekasi, konflik perusahaan-buruh, atau konflik lingkungan harus memprioritaskan mediasi yang dilakukan lembaga independen, bukan pihak yang terkait kepentingan.
5. Perlindungan bagi Pelapor dan Aktivis
Warga yang menyuarakan ketidakadilan harus mendapat payung hukum, bukan dibayangi ketakutan.
Harapan Masa Depan Bekasi: Kota yang Adil Tidak Lahir dari Diam
Masa depan Bekasi tidak boleh dibiarkan berjalan begitu saja. Ia harus diciptakan. Dan kota ini punya potensi besar:
1. Kota dengan Warga Paling Keras Kepala
Bukan keras kepala untuk permusuhan, tapi keras kepala untuk mempertahankan hak. Warga Bekasi punya sejarah panjang soal ini — dan itu adalah modal besar.
2. Kota Industri yang Bisa Menjadi Kota Keadilan
Selama ini industri menciptakan ekonomi. Kini saatnya ia menciptakan kesejahteraan. Kota ini harus menjadi tempat buruh merasa aman bekerja, bukan takut dilaporkan.
This article originally appeared in : Kriminalisasi di Bekasi: Jejak Gelap, Pertarungan Ruang, dan Harapan yang Tidak Boleh Padam

No comments:
Post a Comment