Busana yang dikenakan Rasulullah Saw, bukanlah sembarang busana. Pakaian beliau memiliki karakter yang menjadi teladan bagi umatnya.
Sebagaimana rambut yang memiliki saham dalam menggambarkan bentuk umum manusia, busana (pakaian) juga memiliki saham dalam menggambarkan bentuk ini sehingga dengan keduanya seseorang tampak diterima; mata senang untuk melihatnya atau mata merasa benci untuk menatapnya.
Karena itulah, menurut Prof Dr Rawwas Qal’ah Jie dalam kitabnya, Dirasah Tahliliyah li Syakhsiyah ar-Rasul Muhammad, pakaian Rasulullah memiliki tiga karakter:
Pertama: Ditujukan untuk mencari ridha Allah SWT, yakni tidak menyingkapkan auratnya dan tidak transparan (menjadikannya timbul), dan jauh dari sifat berlebihan yang dicela Allah SWT. Pakaian beliau tidak berasal dari emas dan sutera yang diharamkan syariat.
Kedua: Tidak mengurangi kejantanannya. Pakaian yang mengurangi kejantanan adalah pakaian yang menyerupai pakaian perempuan dan orang kafir, baik dari segi warna atupun jahitan; seperti warna merah yang selalu melekat dengan orang kafir. Karena itu, Rasulullah saw tidak memakai warna tersebut, melarang laki-laki dari memakainya, tetapi mengizinkan kaum perempuan untuk memakainya. Dalam Shahih al Bukhari diriwayatkan, “Rasulullah saw melarang memakai pelana berwarna merah.”
Abdullah bin Amr bin Ash juga menuturkan bahwa Rasulullah saw pernah melihatnya memakai mantel yang dilumuri dengan ushfur –tanaman berwarna merah--. Rasulullah saw lalu berkata, Mantel apa yang engkau pakai ini?” Aku tahu apa yang tidak disukainya. Karena itu, aku mendatangi keluargaku, sedangkan mereka sedang menyalakan perapian. Aku pun melemparkan mantelku ke dalamnya, kemudian aku mendatangi beliau keesokan harinya. Beliau berkata, “Wahai Abdullah, apa yang engkau lakukan dengan mantel itu?”
Aku lalu memberitahunya. Beliau kemudian berkata, “Mengapa tidak engkau memakaikan mantel itu kepada sebagian keluargamu? Karena mantel warna merah itu tidak apa-apa bagi perempuan.” (HR. Abu Dawud)
Abdullah bin Amr juga berkata, “Nabi saw pernah melihatku memakai dua baju yang dilumuri usfur. Beliau lalu bersabda (yang artinya), ‘Sesunggunya ini adalah pakaian orang kafir. Karena itu, janganlah engkau memakainya." (HR. Muslim)
Memang, ada riwayat yang mengisahkan bahwa Rasulullah saw pernah memakai pakaian (baju) berwarna merah (hullah hamra). Dalam hal ini, Ibn Qayyim berkata, “Ada orang yang menyangka bahwa pakaian itu berwarna merah polos yang tidak bergaris warna selainnya. Padahal, baju merah tersebut adalah dua pakaian buatan Yaman yang ditenun dengan garis merah dan hitam, seperti pakaian Yaman lainnya. Pakaian tersebut dikenal dengan nama ini karena di dalamnya terdapat garis-garis warna merah.”
Ketiga: Tidak dipandang buruk oleh masyarakat. Beliau kadang-kadang memakai peci di kepalanya tanpa sorban, memakai sorban tanpa peci, memakai sorban di atas pecinya, dan sorban tanpa dzu’abah (kuncung). Akan tetapi, beliau juga sering memakai sorban yang berkuncung. Jika memakai sorban berkuncung maka beliau membiarkan kuncugnya di antara kedua bahunya.
Beliau memakai kemeja yang ukurannya sampai pergelangan, memakai jubah, dan memakai pakaian luar, dan memakai hullah (yakni kain pinggang/kain penutup yang berwarna kemerahan).
Yang jelas, semua pakaian ini merupakan pakaian yang biasa dipakai oleh masyarakat yang didiami Rasulullah saw seingga tidak tampak celaan masyarakat teradapnya.
Juga tampak jelas, bahwa Rasulullah saw tidak menetapkan model khusus yang disukainya; tiada lain untuk merealisasikan persamaan (al-musawah) yang dengannya Allah SWT mengutus beliau. Karena itulah, ketika ada seseorang yang masuk, sedangkan Rasulullah saw berada di antara sahabatnya, maka orang tersebut tidak mengenalinya dan ia akan berkata, “Manakah orangnya yang bernama Muhammad itu?.” Subhanallah, sedemikian itulah kesederhanaan beliau. Hingga beliau tidak nampak berbeda (menonjol) dengan sahabat-sahabatnya.
This article originally appeared in : Tiga Karakter Busana Rasulullah
No comments:
Post a Comment