Mencintai sosok seorang pemimpin adalah hal paling sederhana yang ada dan dimiliki oleh setiap individu di dalam kelompok kecil maupun besar. Coba kita menengok sejarah masa lampau, sejarah Raja-raja yang telah berkuasa di setiap penjuru bumi, baik sejarah para pemimpin dan tokoh-tokoh revolusioner, maupun sejarah berbagai kelompok yang timbul dengan berbagai macam ideologi dan jalur perjuangan yang berbeda. Semua massa yang mendukung dan berada dibalik punggung sang pemimpin tak lain menempatkan diri mereka dibawah segala titah dan pemikiran seorang pemimpin sebagai wujud penerimaan, persetujuan dan tentu saja wujud murni kecintaan kepada para pemimpin tersebut. Kecintaan yang timbul ini secara sadar maupun tidak menimbulkan keterikatan jiwa yang dalam sehingga demi kehidupan orang yang dicintai tersebut, seringkali akal sehat berada di bawah naluri-naluri emosional. Seringkali pula kecintaan menjadikan mata buta untuk melihat realita yang terjadi sehingga akhirnya timbul menjadi dasar pembenaran atas berbagai kejahatan maupun kesalahan yang dilakukan.
Begitulah yang terjadi, hal yang demikian telah menjadi sunatullah dan terjadi berulang-ulang dalam roda sejarah kehidupan manusia. Begitu banyak kisah yang telah dituliskan oleh kitab-kitab tarikh, perkamen-perkamen usang, maupun berbagai literatur historiografi kuno. Tembok-tembok tua piramida, relief batu andesit hitam Borobudur, maupun tumpukan kertas usang yang telah menguning di perpustakaan Library of Congress telah menampakkan goresan kisah-kisah itu sejak ratusan bahkan ribuan tahun yang lalu. Begitupula kisah para nabi dan rasul yang Allah tuliskan dalam Al Qur’an yang mulia. Hanya saja kisah mereka, cinta pengikut mereka yang timbul bukan karena kecintaan yang buta. Kecintaan itu muncul karena kemurnian dan ketulusan setelah mereka sebelumnya melihat tanda-tanda kebenaran dari ayat-ayat Rahman. Terlalu banyak kisah para nabi ini terekam oleh Al Qur’an yang mulia.
Kisah para nabi ini berbeda dengan kisah para pemimpin dunia. Urusan para nabi ini bukan hanya terpaku pada masalah dunia, namun secara mendasar telunjuk, ajaran dan petunjuk yang dibawa para nabi ini mengarah pada pengabdian terhadap Rabb pencipta semesta. Pengabdian dalam segala tindak dan perilaku yang dicontohkan kepada umat baik pada tataran filosofis hidup, mereka datang untuk mengajarkan akhlak yang baik, memberantas peribadatan kepada selain-Nya, dan menegakkan wahyu ilahi pada setiap sendi kehidupan makhluk yang berakal, manusia. Titah yang keluar dari para pemimpin ini bukan dari keahlian lisan dan hasil perpaduan berfilsafat antara otak kanan dan otak kiri hamba yang lemah sebagaimana Plato, Aristotle, dan Hegel berteorama dalam linangan pemikiran. Bukan, sama sekali bukan demikian. Hal ini tidak terjadi pada para wali Rahman melainkan titah tersebut turun dari ‘Arsy, singgasana Allah yang Maha Pengasih, menembus tujuh lapis langit sebelum akhirnya mengikat kuat dalam keyakinan, membuncah dalam dada, meneguhkan pijakan di atas shirotul haq serta menjadi penawar dari pahitnya cobaan yang kemudian di datangkan Sang Maha Pengasih dari atas langit. Dia hendak menguji apakah kecintaan itu murni atau sekedar pengakuan belaka.
Begitu juga yang terjadi pada sang penutup risalah kenabian. Seorang Quraisyi yang digelari oleh masyarakat jahiliyyah dengan sebutan Al Amin ketika sebagian besar masyarakat Arab hidup dalam kebodohan moral. Al Amin yang tetap dipercaya meski orang-orang yang ingkar terhadap petunjuk yang dibawanya, menyebut beliau dengan sebutan Majnun (gila), As Sahir (penyihir), dan sebutan yang menyakitkan telinga ketika di perdengarkan. Ini dia Rasulullah Muhammad Saw, seorang yatim yang sifat dan perilakunya terpuji sebagaimana terpujinya nama beliau Saw. Makhluk paling sempurna yang datang untuk menyempurnakan akhlak dan semua risalah para nabi terdahulu. yang kabar akan kedatangannya membuat gusar seluruh Yahudi dan Kristiani setelah sebelumnya mereka berharap akan kedatangan sosok Kamil tersebut.
Cahaya kebenaran yang dibawanya menembus ufuk hingga masuk kedalam dada-dada orang yang jujur mencari kebenaran seperti Salman RA maupun Ustman RA. Tak ayal, dunia yang sebelumnya datar berubah menjadi pilah-pilah yang terpisah antara kebenaran dan kebathilan. Jalan kebenaran itu tak selalu mudah, dengar bagaimana masyarakat Tha’if melempari Rasulullah dengan batu sampai membuat malaikat penjaga bukit Tho’if marah besar. Lihatlah bagaimana kemudian kebathilan berusaha menindas kebenaran dengan segala daya dan upaya yang bisa dilakukannya. Bilal pun lirih bersenandung “Ahad, Ahad” ketika batu besar menindihnya ditengah terik gurun yang membakar kulit. Summayah dan Yasiir bahkan harus rela ditumpahkan darahnya oleh para pendengki. Lihatlah sekali lagi, kecintaan terhadap seorang yang bernama Muhammad Saw mampu menjadikan Thalhah dengan kesadaran dirinya sendiri sebagai tameng hidup untuk menahan setiap anah panah yang melaju kepada sang terkasih. Lihat bagaimana Khubaib mengatakan dengan keyakinan kepada keluarga Ummayah bahwa ia lebih senang di penggal daripada Rasulullah tertusuk duri. Semua kecintaan ini berlanjut, dan senantiasa tersimpan dalam catatan zaman.
Seiring berjalannya waktu, kemudian kecintaan itu memudar. Sampai tibalah masa dimana kita hidup sekarang. Setiap muslim mengaku mencintai Kekasih Allah Muhammad Saw dengan sepenuh hati, sementara lisan, akhlak dan perilaku kesehariannya mengingkari pengakuan-pengakuan yang mereka lontarkan. Mustahil seorang yang mengaku mencintai mengkhianati dari apapun yang diperintahkan oleh sang terkasih. Dunia telah berulangkali menampakkan dari jauh maupun dekat bagaimana seorang pecinta rela berpeluh menumpahkan segala nafas, bahkan nyawa demi menggapai keridhaan sang tercinta sebagai perwujudan yang nyata akan kebenaran cintanya. Lembaran demi lembaran kisah menceritakan yang demikian. Kisah demi kisah kadangkala menuliskan tentang kasih Qa’is dan Layla, sementara itu ditempat tenggelamnya matahari ditebar kisah romansa Romeo dan Juliet. Bukankah demi kerelaan si tercinta, seorang pecinta rela bermandikan darah?
Tak sepantasnya menyandingkan cinta untuk makhluk paling mulia dengan cinta insani antara sepasang kekasih. Rasulullah Saw bukan sekedar kekasih, melainkan beliau adalah sosok yang didalamnya terkumpul segala kebaikan. Kebaikan yang menjadi damainya alam semesta. Kini, kecintaan umat terhadap beliau telah luntur sedikit demi sedikit hingga akhirnya tiada yang tersisa. Benar, umat ini marah ketika nama beliau yang terpuji dilecehkan oleh tangan-tangan kotor para pengingkar. Benar umat ini memperingati hari kelahiran beliau Saw dengan segenap daya dan harta. Namun apalah dikata, yang tersisa hanya sekedar kemarahan, yang tersisa hanya sekedar perayaan. Setelah hari-hari itu berlalu, umat ini kembali lupa akan hakikat kedatangan dan kecintaan pada Rasulullah Muhammad Saw. Esensi kecintaan itu telah hilang. Padahal Ibnu Hazm dalam kitabnya yang berjudul “Tauqul Hamamah” menyebutkan ciri seorang pecinta adalah ia berusaha mendekati segala sifat dan perilaku dari yang dia cintai. Sementara itu, realita kekinian berkata terbalik. Apa yang dilarang Rasulullah kembali mereka lakukan dengan tenang dan lapang dada, sementara apa yang beliau perintahkan mereka jauhi dengan seribu satu alasan beserta nada yang semakin meninggi. Tinggalah yang tersisa, yang mencintai dengan penuh ketulusan seketika itupula berubah menjadi seorang yang asing, dicela karena anehnya penampilan dan berbedanya jalan hidup yang mereka pilih. Tak perduli sunnah, tak perduli perintah, hukum tinggal hukum, dalil tinggal dalil namun tak mampu mengubah perspektif kecintaan. Kesalahan pun dilakukan dengan mengatasnamakan cinta sebagai asas pembenaran. Maka, yang tersisa tinggal titik terlemah dari rasa cinta dan pertanyaan yang hanya bisa dijawab oleh masing-masing individu, “apakah aku benar-benar mencintai?”
This article originally appeared in : Merenungi Esensi Kecintaan Terhadap Rasulullah Saw
No comments:
Post a Comment