Tugas pokok kementerian kesehatan adalah merealisasikan pasal 28 H ayat 1 UUD 1945 yaitu “setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin…….serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”.
Selanjutnya, pada pasal 34 ayat 3 dinyatakan “negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak”.
Tugas lain yang juga telah diratifikasi oleh negara adalah Deklarasi Universal HAM pasal 25 yang berbunyi “setiap orang berhak atas taraf kehidupan yang memadai untuk kesehatan, kesejahteraan dirinya sendiri dan keluarganya”.
Menkes punya peran penting dalam menentukan arah kebijakan publik terkait program kerja kemenkes dalam merealisasikan kewajiban konstitusi sebagaimana tersurat pada pasal 28H ayat 1 dan pasal 34 ayat 3 UUD 1945, serta Pasal 25 Deklarasi Universal HAM tersebut di atas.
Menkes Menganggap Stetoskop Tidak Ilmiah |
Landasan berfikir yang menjadi dasar dari semua kebijakan kesehatan sudah seharusnya mengutamakan kepentingan rakyat banyak, bukan kepentingan lain yang seolah-olah mengatasnamakan rakyat banyak.
Kebijakan kesehatan yang salah dan menimbulkan kontroversi paling sering disebabkan oleh landasan berfikir yang sesat atau Logical Fallacy seorang Menteri Kesehatan.
Menkes yang bukan dokter dan tidak pernah mau tahu selain keburukan dokter dan nakes, dan tidak mau tahu apapun tentang pendidikan dokter dan logika sains medis ini membuat sebuah pernyataan yang selain tidak menghargai juga merendahkan sains medis.
Pernyataan yang tidak pantas untuk keluar dari mulut seorang pejabat tinggi negara dan seorang yang mengaku berpendidikan tinggi.
Menkes yang mengaku lulus dari jurusan Fisika Institut Teknologi Bandung ini bahkan patut diragukan kelulusannya sebagai sarjana fisika.
Jantung adalah sebuah organ tubuh yang selalu bergerak/ berdenyut, serta ada darah yang terus mengalir di dalamnya.
Pada jantung ada pintu masuk dan pintu keluar, serta ada sekat normal antara serambi dan bilik jantung serta sekat antara jantung kanan dan jantung kiri.
Sekat antara serambi dan bilik jantung memiliki lubang yang ada klep nya. Gerakan cairan dari serambi masuk ke bilik, lalu dari bilik masuk ke pembuluh nadi akan menimbulkan bunyi yang khas (mengikuti hukum mekanika fluida).
Bunyi yang khas ini akan berubah manakala ada penyempitan lubang tersebut, atau karena terlalu lebar sehingga aliran cairan berubah dari laminar jadi turbulen atau berbalik arah (regurgitasi).
Perubahan bunyi dari normal menjadi tidak normal, bahkan disertai adanya suara tambahan inilah yang menjadi dasar dugaan adanya gangguan yang tertentu/ spesifik pada klep jantung atau bahkan kebocoran pada sekat jantung.
Logika Berpikir Rasional Dokter dalam Memastikan Diagnosa Penyakit
Dalam Pendidikan dokter di dunia manapun seorang calon dokter diajarkan untuk bertanya pada pasiennya (terkecuali dokter hewan, pertanyaannya tertuju pada pemilik/ pengasuhnya) terkait keluhan yang dideritanya.
Pertanyaan-pertanyaan ini terarah dan terkait dengan anatomi dan fungsi organ atau bagian tubuh yang diduga bermasalah ini disebut anamnesa.
Saat seorang pasien datang dengan keluhan nyeri dada kiri, saya akan segera mengumpulkan data hal-hal yang mendukung atau bahkan menihilkan potensi sakit jantung.
Pertama-tama saya harus melakukan pemeriksaan fisik melihat hentakan denyut jantung pada dinding dada, menentukan proyeksi ukuran jantung di dinding dada, lalu terpenting adalah mendengarkan suara/ bunyi jantung secara seksama dengan alat stetoskop.
Selain itu saya juga mesti memeriksa ada tidaknya perubahan bentuk dan warna pada ujung jemari tangan (clubbing) atau ada tidaknya timbunan cairan (edema) pada kedua kaki.
Berdasarkan informasi dari anamnesa serta kesesuaian atau malah ketidak-cocokan dengan hasil-hasil pemeriksaan fisik inilah dibangun asumsi atau dugaan penyakit jantung, atau kemungkinan penyakit lain dengan gejala yang mirip.
Berangkat dari asumsi inilah dokter akan melakukan pemeriksaan penunjang yang dibutuhkan, yang tidak selalu sama untuk setiap pasien.
Selain kadar gula darah, lemak darah, tekanan darah, dan kadar enzim otot jantung dalam darah, ada pemeriksaan rekaman listrik jantung (EKG), CT jantung, atau Ekokardiografi (bahkan apakah Eko standar via dinding dada atau via saluran cerna atas/ Esofagus (TEE).
Tidak semua pasien memerlukan pemeriksaan penunjang yang sama dan tidak semua pasien harus melalui semua pemeriksaan tersebut.
Disinilah peran seorang dokter, yang selain ‘body of knowledge’ (seperti pada AI), dokter ini punya hati dan empati (yang tidak mungkin ada pada AI).
Dari hati dan empati ini lahirlah etika profesi, sehingga dokter bisa berkomunikasi dengan pasien dan keluarganya sebagai seorang manusia, bukan mesin atau robot.
Meskipun penyakitnya tidak bisa disembuhkan, dengan hati dan empati inilah dokter akan bisa menyembuhkan penderitaan pasien.
Pernyataan Bodoh yang disengaja untuk merusak kepercayaan masyarakat pada Dokter
Pernyataan menkes tentang penggunaan stetoskop, sebagai alat bantu untuk mendengarkan bunyi jantung, sebagai tidak ilmiah adalah sebuah pernyataan yang merendahkan profesi dokter dan ilmu kedokteran.
Hanya orang bodoh yang tidak berpendidikan yang bisa mengatakan hal itu.
Pernyataan ini menjadi berbahaya karena diucapkan oleh seorang pejabat kesehatan yang berpotensi untuk dipercaya dan diikuti oleh sebagian besar masyarakat yang kurang berpendidikan.
Semua dokter di seluruh pelosok negeri ini, bahkan di dunia, masih dan akan selalu menggunakan stetoskop sebagai alat bantu utama untuk memastikan kesehatan jantung dan paru pasien.
Hilangnya kepercayaan masyarakat pada stetoskop seorang dokter bisa menimbulkan chaos pada sistem layanan kesehatan kita yang faktanya masih amburadul seperti saat ini.
Anamnesa dan pemeriksaan fisik yang baik (termasuk penggunaan stetoskop) adalah 70-80% informasi untuk sampai pada diagnosa yang benar.
Tanpa anamnesa yang baik, semakin besar resiko terjadinya salah diagnosa dan salah pengobatan.
Anamnesa dan pemeriksaan fisik yang baik hanya bisa dilakukan bila dokter dan pasien bisa berkomunikasi dalam bahasa yang sama.
Tanpa anamnesa yang baik, dokter akan cenderung memanfaatkan semua fasilitas pemeriksaan penunjang yang dimiliki RS, yang tentu saja berakibat pada pemborosan sumber daya diagnostik, dan tentu saja keuangan.
Pikiran Sesat (logical fallacy) dan agenda dibalik narasi bodoh yang terus berulang
Pikiran sesat (logical fallacy) menkes yang menganggap semua penyakit bisa diketahui dengan AI, telah menghasilkan pelbagai kebijakan kesehatan yang salah dan berbahaya, contohnya PMK No. 6-2023 tentang Dokter WNA.
Selain itu, terkait kegiatan Baksos (pasal 24), ayat 7 menyebutkan “TK-WNA dikecualikan dari kewajiban mampu berbahasa Indonesia” (kumparan.com/zainalmuttaqin…?).
Bahkan diduga kuat pernyataan menkes tentang stetoskop yang tidak ilmiah ini dilatarbelakangi rencana pengadaan teknologi AI secara besar-besaran, setelah hadirnya jaringan Starlink, guna menutupi kegagalan 9 dari 10 program kesehatan dasar yang menjadi tanggung jawab menkes.
Tidak layak untuk bicara tentang AI maupun kedokteran genomik, bagi seorang menteri yang gagal memenuhi kewajiban imunisasi dasar lengkap bayi yang hanya mencapai 63,17% dari target 90%, balita stunting yang masih di angka 21,6% dari target 14%, Puskesmas yang terakreditasi hanya mencapai 56,4% dari target 100%, dan pemenuhan tenaga kesehatan di Puskesmas sesuai standar yang hanya mencapai 56,07% dari target sebanyak 83% puskesmas (databoks.katadata.co.id).
Tidak layak untuk bicara tentang pengadaan alat PET scan yang super mahal bagi seorang menteri disaat lebih dari 70% pasien kanker belum terpenuhi hak-hak kesehatan dan hak kemanusiaannya untuk memperoleh radioterapi karena alat radioterapi (teleterapi) hanya ada 80 dari total kebutuhan 280 sesuai saran dari IROS (Indonesian Radiation Oncology Society) dan 86% pasien kanker terlambat penanganannya lebih dari 6 bulan (S. Gondhowiardjo, dkk., Med.J. Indonesia, 2021).
Apalagi kanker payudara masih jadi pembunuh ibu-ibu nomor 1 gegara deteksi dini dengan mamografi masih berbayar mahal dan alatnya cuma tersedia di 100 dari 540 RSUD.
Bahkan tidak layak untuk hadir dan meresmikan RS Asing nan Mewah bagi seorang Menteri disaat sebagian besar rakyatnya (178,5 juta peserta BPJS kelas 3) masih harus mengantri 6-12 bulan untuk bisa masuk RS rujukan guna penanganan lanjut penyakitnya (Opini Media Indonesia, Kamis 4 April 2024).
Bahkan layak dipertanyakan apakah masih punya malu ketika negeri ini ternyata menduduki Juara 1 Dunia untuk Scabies/ Kudis, Juara 2 untuk TBC, dan Juara 3 untuk penyakit Kusta.
Sebagai penutup tulisan ini, dalam rangka membangun layanan kesehatan yang lebih baik bagi seluruh rakyat, diperlukan kolaborasi yang harmonis yang melibatkan seluruh pemangku kepentingan, terutama seluruh dokter dan nakes.
Kemenkes sebagai kepanjangan tangan negara untuk memenuhi tugas konstitusinya, tidak layak untuk dipimpin oleh menteri yang hanya pandai bernarasi tanpa prestasi, menkes yang pandai merendahkan prestasi dokter negeri dan menggantinya dengan dokter asing naturalisasi, menkes yang membangun bisnis kesehatan bersama oligarki dengan rakyat banyak sebagai objeknya.
"Ya Tuhan kami, jangan biarkan kami dipimpin menteri yang semakin lama semakin tak tahu diri seperti saat ini, Amin."
Pernyataan menkes tentang penggunaan stetoskop, sebagai alat bantu untuk mendengarkan bunyi jantung, sebagai tidak ilmiah adalah sebuah pernyataan yang merendahkan profesi dokter dan ilmu kedokteran.
No comments:
Post a Comment