Niat dalam Bahasa Arab berarti mengingini sesuatu dan bertekad hati untuk mendapatkannya. Niyyatu berarti kehendak atau al-qasdu, yaitu yakinnya hati untuk melakukan sesuatu dan kuatnya kehendak untuk melakukannya tanpa ada keraguan.
Sehingga niyyatu dan menginginkan sesuatu (iraadatulfi`li) adalah sinonim. Kedua kata tersebut sama-sama digunakan untuk menunjukkan pekerjaan yang sedang terjadi maupun yang akan terjadi.
Niat adalah sesuatu yang sangat penting yang mempengaruhi keabsahan dan nilai sebuah amal. Rasulullah SAW bersabda, “Semua amal perbuatan tergantung niatnya dan setiap orang akan mendapatkan sesuai apa yang ia niatkan.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Berbagai pendapat para ulama menunjukkan urgensi niat yang tercakup dalam hadits di atas. Di antaranya Imam Ahmad dan Imam Syafi’i berkata, “Hadits ini mencakup sepertiga ilmu, karena perbuatan manusia terkait dengan tiga hal: hati, lisan, dan anggota badan. Sedangkan niat dalam hati merupakan salah satu dari tiga hal tersebut.”
Abu Dawud berkata, “Hadits ini setengah dari ajaran Islam. Karena agama bertumpu pada dua hal: sisi lahiriyah (amal perbuatan) dan sisi bathiniyah (niat).”
Al-Baidhawi berkata, “Amal ibadah tidak akan sah kecuali jika diiringi dengan niat. Karena niat tanpa amal diberi pahala, sementara amal tanpa niat adalah sia-sia. Perumpamaan niat bagi amal, ibarat ruh bagi jasad. Jasad tidak akan berfungsi jika tanpa ruh, dan ruh tidak akan tampak jika terpisah dari jasad.”
Dengan memahami urgensi niat itu, maka seluruh perbuatan baik dan bermanfaat, jika diiringi dengan niat yang ikhlas dan hanya mencari keridhaan Allah, maka perbuatan tersebut adalah ibadah.
Dr. Yusuf Qardhawi dalam al-Halal wal Haram fil Islam menyatakan, “Dengan niat yang baik, berbagai hal yang mubah dan adat kebiasaan, berubah menjadi ketaatan dan ibadah kepada Allah.
Barangsiapa menyantap makanannya dengan niat mempertahankan hidup dan menguatkan fisik supaya bisa menunaikan kewajiban terhadap Tuhan dan ummatnya, maka makan dan minumnya adalah ibadah dan taqarrub kepadanya.”
Intinya, setiap amal perbuatan mubah yang dilakukan seorang mukmin dengan memasukkan unsur niat di dalamnya, niat itu mengubahnya menjadi suatu ibadah.
Adapun yang haram, tetap saja haram betapa pun diiringi dengan niat, maksud, dan tujuan yang baik dari pelakunya. Islam tidak akan pernah ridha jika hal yang haram dijadikan sarana untuk mencapai tujuan yang terpuji.
Rasulullah SAW bersabda, “Allah tidak melihat bentuk fisik kalian dan harta kalian, namun melihat kepada hati dan amal perbuatan kalian.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Abu Bakr Jabir al-Jazairi dalam Minhajul Muslim mengomentari hadits di atas dengan menyatakan, penglihatan kepada hati berarti penglihatan kepada niat, sebab niat adalah motivasi amal perbuatan.
Buahnya Niat
Karenanya, jangan pernah menyepelekan niat, baik niat baik maupun niat buruk, karena keduanya memiliki buahnya masing-masing. Niat baik akan berbuah kebaikan dan pahala, sedang niat buruk akan berbuah keburukan dan dosa.
Rasulullah Saw bersabda, “Manusia terbagi ke dalam 4 kelompok: (1) orang yang diberi ilmu dan harta oleh Allah kemudian ia mengamalkan ilmunya pada hartanya ia menginfakkannya di jalannya. (2) orang yang diberi ilmu oleh Allah tapi tidak diberi harta, kemudian ia berkata, ‘Seandainya aku mempunyai seperti yang dipunyai dia (orang pertama), aku pasti berbuat seperti yang ia perbuat.’ Rasulullah SAW bersabda, ‘Pahala kedua orang tersebut sama’. (3) orang yang diberi harta oleh Allah tapi tidak diberi ilmu (sehingga) ia tidak bisa mengatur hartanya dan menginfaqkannya tidak di jalannya. (4) orang yang tidak diberi ilmu dan harta oleh Allah, kemudian ia berkata, ‘Seandanya aku mempunya apa yang dimiliki orang tersebut (orang ketiga), aku pasti berbuat seperti yang ia perbuat’. Rasulullah SAW bersabda, ‘Dosa kedua orang tersebut sama’.” (HR. Ibnu Majah).
Pada hadits di atas, orang yang mempunyai niat yang baik (walau belum bisa mewujudkan ke dalam amal shalih yang diniatkannya) dibalas dengan pahala setara orang yang mempunyai niat dan amal shalih sekaligus, sebaliknya orang yang mempunyai niat yang buruk (walau belum mewujudkannya ke dalam amal buruk yang diniatkannya) dibalas dengan dosa setara orang yang mempunyai niat dan amal buruk sekaligus. Sebabnya tidak lain karena niatnya.
Rasulullah SAW bersabda, “Jika dua orang muslim bertemu dengan pedangnya masing-masing, maka pembunuh dan orang yang terbunuh sama-sama masuk neraka’. Ditanyakan kepada beliau, ‘Wahai Rasulullah, kalau pembunuh betul, bagaimana dengan orang yang terbunuh?’ Rasulullah SAW bersabda, “Karena ia juga ingin membunuh sahabatnya’.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Niat dan keinginan yang buruk di dalam hati orang yang terbunuh disamakan pada orang yang membunuh, yang keduanya sama-sama berhak masuk neraka. Andai niat orang yang terbunuh tersebut tidak demikian (tidak ingin membunuh), maka ia pasti masuk surga.
Di hadits lainnya, Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa menikah dengan mahar dan berniat tidak memenuhinya, ia pezina. Barangsiapa meminjam dan berniat tidak membayarnya, ia pencuri.” (HR. Ahmad).
Hanya dengan niat yang buruk, sesuatu yang mubah berubah menjadi sesuatu yang haram, dan sesuatu yang diperbolehkan menjadi sesuatu yang terlarang. Ini semua semakin menguatkan keyakinan seorang muslim kepada urgensi niat dan nilanya yang sangat agung.
Karena itu, seorang muslim hendaknya membangun seluruh amal perbuatannya di atas niat yang shalih dan berusaha keras tidak mengerjakan amalan tanpa niat atau dengan niat yang tidak baik, sebab niat adalah intisari amal dan pilarnya. Jadi, jangan pernah menyepelekan niat.
No comments:
Post a Comment