Hak Asasi Yang Salah Kaprah - Di tingkat konstitusional, Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia sudah mengalami perbaikan selama 12 tahun. Tetapi pada kenyataan, kondisi HAM masih tidak memuaskan. Kekerasan baru cenderung dibiarkan terjadi, sementara kekerasan lama tak pernah terselesaikan (seperti kasus Munir). Tak heran ketika pejabat tinggi kantor HAM PBB Navi Pillay datang ke Indonesia, dia memberi catatan keras kepada pemerintah.
Salah satu penyebab kemandekan penegakan HAM adalah salah kaprah yang terjadi di kalangan pejabat, petugas hukum, serta masyarakat Indonesia. Apa saja salah kaprah itu?
1. ‘HAM bertentangan dengan nasionalisme dan budaya lokal.’
Hak asasi dianggap sebagai budaya Barat yang memuja individualisme dan mengganggu kesatuan Indonesia. Padahal, rasa kritis setiap orang datang dari ketiadaan pelayan negara. Atau hilangnya faktor penopang keberadaan setiap manusia.
Daya kritis ini bisa muncul dari setiap orang yang berada di tengah komunitas dan bisa meluas hingga menjadi daya kritis bersama. HAM harus dipahami sebagai sebuah nalar kritis dari tiap insan, dapat muncul secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama, dan ditujukan kepada penguasa. Baik penguasa di rumah, lingkungan, pemerintah (termasuk lokal) atau di mana saja selama terdapat pembagian tugas.
Nasionalisme tidak boleh jadi pembenaran setiap orang boleh disiksa, dihilangkan, ditangkap semena-mena atau bahkan dibunuh. Nasionalisme dan budaya seharusnya menjadi instrumen penjamin HAM, bukan mengurangi apalagi mengancam. Aktivis hak asasi dan aktivis politik di Aceh dan Papua adalah contoh korban dari salah kaprah seperti ini.
2. ‘Reformasi di Indonesia sudah kebablasan.’
Kebebasan di Indonesia dianggap sudah tanpa batas, sehingga orang bisa dan boleh melakukan apa saja — termasuk menghina atau mengecam satu kelompok. Tetapi kebebasan yang diperjuangkan bersama HAM sebenarnya tidak tanpa batas. Kebebasan tersebut tidak boleh digunakan untuk melanggar atau mengganggu kebebasan mendasar orang atau kelompok lainnya.
HAM juga mengisyaratkan bahwa pertentangan hak harus diatur lewat kebijakan tegas dan diuji di jalur hukum. Masalahnya di Indonesia, tidak ada pengadilan yang pernah menguji pertentangan kebebasan yang mendasar ini. Yang terjadi adalah “pasar bebas” — pertentangan definisi kebebasan dan klaim dari masing-masing pihak.
Kasus kekerasan terhadap minoritas merupakan bukti otentik dari salah kaprah ini. Para pelaku kekerasan menikmati kebebasan berekspresi yang disalahgunakan sedangkan polisi, dalam berbagai kesempatan, selalu berdalih “khawatir dianggap melakukan pelanggaran hak asasi”. Pihak minoritas selalu dianggap menghina identitas kelompok mayoritas, atau keberadaannya tidak diinginkan komunitas setempat.
3. ‘Kejahatan kemanusiaan boleh dilakukan bila perlu.’
Anggapan yang salah ini muncul karena banyak kalangan tidak mengetahui ukuran hak-hak fundamental. Dalam HAM dikenal konsep “hak-hak yang tidak dikurangi dalam keadaan apapun,” contohnya penyiksaan dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Konsep ini terkait dengan konsep hostis humanis generis, yaitu kejahatan terhadap hak-hak di atas merupakan musuh bagi seluruh umat manusia.
Salah kaprah ini berakibat serius pada sejumlah hal, misalnya menteri koordinator keamanan Djoko Suyanto pernah mengatakan, kekerasan yang terjadi pada 1965 dan seterusnya, terhadap sejumlah orang yang dituduh PKI merupakan hal wajar demi menyelamatkan negara.
Pernyataan senada juga datang dari Wakil Ketua DPR RI Priyo Budi Santoso, yang mengatakan peristiwa 1965 tidak perlu diungkap kembali. Nah, model pernyataan-pernyataan seperti ini menunjukkan ketidakberpihakan para pejabat negara pada ukuran kewajiban negara di bidang HAM.
4. ‘HAM adalah hasil konsensus dan komitmen politik.’
Cara berpikir seperti ini perlu dibedah lebih jauh. Bahwa pelaksanaannya juga merupakan sebuah konsensus dan membutuhkan komitmen. Tetapi sampai sejauh ini, instrumen pemerintah dan instrumen hukum masih menunjukkan kinerja buruk dan rentan dipolitisasi.
Lihat saja, bagaimana polisi berjanji dengan pin yang ditempel di baju dinas kepolisian tentang “Anti Kekerasan dan Anti Korupsi”. Namun kenyataannya banyak aparat polisi masih melakukan kekerasan.
Keanehan lain, bisa dilihat dari tingkat regional di mana ASEAN baru saja mengesahkan Deklarasi HAM. Sejumlah kalangan seperti Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa dan Perwakilan Indonesia di Komisi HAM ASEAN Rafendi Djamin menyatakan bahwa deklarasi ini sebagai sebuah kemajuan dan kristalisasi hasil dari sebuah konsensus politik di ASEAN.
Tapi bagaimana deklarasi ini akan berjalan bila setiap negara ASEAN memiliki komitmen dan implementasi yang rendah pada HAM? Terlebih deklarasi HAM ASEAN juga masih memberikan ruang penyelewengan dengan ukuran lokalitas masing-masing negara dan konteks keamanan nasionalnya.
Atau lihat juga dengan janji Kementerian Pertahanan Purnomo Yusgiantoro yang menyatakan bahwa masyarakat tidak perlu panik dengan adanya Rancangan Undang-Undang Keamanan Nasional karena tidak akan digunakan sebagai alat represi di masa depan. Tapi di sisi lain, TNI AU justru melakukan kekerasan terhadap jurnalis.
5. ‘HAM hanyalah wacana bukan substansi penegakan hukum apalagi perumusan kebijakan.’
Hasil ketidakpahaman dan ketiadaan komitmen dalam penanganan persoalan HAM, akhirnya hanya berujung pada saling lempar wacana dan tanggung jawab. Perdebatan HAM hanya melahirkan nama-nama populis dan antogonis tanpa sebuah kemajuan pada kasus, isu dan masa depan yang ingin dibangun. Suciwati tetap hampa menunggu keadilan atas kasus suaminya, Munir. Demikian juga Sumarsih, Widodo, dan banyak nama keluarga korban lainnya. Bahkan mereka menjadi renta satu per satu dimakan semangat dan penantian keadilan dan kebenaran.
Jika suatu saat Navi Pillay datang kembali ke Indonesia, mudah-mudahan situasi bisa lebih baik.
Haris Azhar adalah Koordinator KontraS. Ia memperoleh gelar Master of Arts untuk bidang HAM dari University of Essex UK. | This article originally appeared in : Lima Salah Kaprah Hak Asasi | Oleh KontraS | Newsroom Blog – Rab, 30 Jan 2013
Salah satu penyebab kemandekan penegakan HAM adalah salah kaprah yang terjadi di kalangan pejabat, petugas hukum, serta masyarakat Indonesia. Apa saja salah kaprah itu?
1. ‘HAM bertentangan dengan nasionalisme dan budaya lokal.’
Hak asasi dianggap sebagai budaya Barat yang memuja individualisme dan mengganggu kesatuan Indonesia. Padahal, rasa kritis setiap orang datang dari ketiadaan pelayan negara. Atau hilangnya faktor penopang keberadaan setiap manusia.
Daya kritis ini bisa muncul dari setiap orang yang berada di tengah komunitas dan bisa meluas hingga menjadi daya kritis bersama. HAM harus dipahami sebagai sebuah nalar kritis dari tiap insan, dapat muncul secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama, dan ditujukan kepada penguasa. Baik penguasa di rumah, lingkungan, pemerintah (termasuk lokal) atau di mana saja selama terdapat pembagian tugas.
Nasionalisme tidak boleh jadi pembenaran setiap orang boleh disiksa, dihilangkan, ditangkap semena-mena atau bahkan dibunuh. Nasionalisme dan budaya seharusnya menjadi instrumen penjamin HAM, bukan mengurangi apalagi mengancam. Aktivis hak asasi dan aktivis politik di Aceh dan Papua adalah contoh korban dari salah kaprah seperti ini.
2. ‘Reformasi di Indonesia sudah kebablasan.’
Kebebasan di Indonesia dianggap sudah tanpa batas, sehingga orang bisa dan boleh melakukan apa saja — termasuk menghina atau mengecam satu kelompok. Tetapi kebebasan yang diperjuangkan bersama HAM sebenarnya tidak tanpa batas. Kebebasan tersebut tidak boleh digunakan untuk melanggar atau mengganggu kebebasan mendasar orang atau kelompok lainnya.
HAM juga mengisyaratkan bahwa pertentangan hak harus diatur lewat kebijakan tegas dan diuji di jalur hukum. Masalahnya di Indonesia, tidak ada pengadilan yang pernah menguji pertentangan kebebasan yang mendasar ini. Yang terjadi adalah “pasar bebas” — pertentangan definisi kebebasan dan klaim dari masing-masing pihak.
Kasus kekerasan terhadap minoritas merupakan bukti otentik dari salah kaprah ini. Para pelaku kekerasan menikmati kebebasan berekspresi yang disalahgunakan sedangkan polisi, dalam berbagai kesempatan, selalu berdalih “khawatir dianggap melakukan pelanggaran hak asasi”. Pihak minoritas selalu dianggap menghina identitas kelompok mayoritas, atau keberadaannya tidak diinginkan komunitas setempat.
3. ‘Kejahatan kemanusiaan boleh dilakukan bila perlu.’
Anggapan yang salah ini muncul karena banyak kalangan tidak mengetahui ukuran hak-hak fundamental. Dalam HAM dikenal konsep “hak-hak yang tidak dikurangi dalam keadaan apapun,” contohnya penyiksaan dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Konsep ini terkait dengan konsep hostis humanis generis, yaitu kejahatan terhadap hak-hak di atas merupakan musuh bagi seluruh umat manusia.
Salah kaprah ini berakibat serius pada sejumlah hal, misalnya menteri koordinator keamanan Djoko Suyanto pernah mengatakan, kekerasan yang terjadi pada 1965 dan seterusnya, terhadap sejumlah orang yang dituduh PKI merupakan hal wajar demi menyelamatkan negara.
Pernyataan senada juga datang dari Wakil Ketua DPR RI Priyo Budi Santoso, yang mengatakan peristiwa 1965 tidak perlu diungkap kembali. Nah, model pernyataan-pernyataan seperti ini menunjukkan ketidakberpihakan para pejabat negara pada ukuran kewajiban negara di bidang HAM.
4. ‘HAM adalah hasil konsensus dan komitmen politik.’
Cara berpikir seperti ini perlu dibedah lebih jauh. Bahwa pelaksanaannya juga merupakan sebuah konsensus dan membutuhkan komitmen. Tetapi sampai sejauh ini, instrumen pemerintah dan instrumen hukum masih menunjukkan kinerja buruk dan rentan dipolitisasi.
Lihat saja, bagaimana polisi berjanji dengan pin yang ditempel di baju dinas kepolisian tentang “Anti Kekerasan dan Anti Korupsi”. Namun kenyataannya banyak aparat polisi masih melakukan kekerasan.
Keanehan lain, bisa dilihat dari tingkat regional di mana ASEAN baru saja mengesahkan Deklarasi HAM. Sejumlah kalangan seperti Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa dan Perwakilan Indonesia di Komisi HAM ASEAN Rafendi Djamin menyatakan bahwa deklarasi ini sebagai sebuah kemajuan dan kristalisasi hasil dari sebuah konsensus politik di ASEAN.
Tapi bagaimana deklarasi ini akan berjalan bila setiap negara ASEAN memiliki komitmen dan implementasi yang rendah pada HAM? Terlebih deklarasi HAM ASEAN juga masih memberikan ruang penyelewengan dengan ukuran lokalitas masing-masing negara dan konteks keamanan nasionalnya.
Atau lihat juga dengan janji Kementerian Pertahanan Purnomo Yusgiantoro yang menyatakan bahwa masyarakat tidak perlu panik dengan adanya Rancangan Undang-Undang Keamanan Nasional karena tidak akan digunakan sebagai alat represi di masa depan. Tapi di sisi lain, TNI AU justru melakukan kekerasan terhadap jurnalis.
5. ‘HAM hanyalah wacana bukan substansi penegakan hukum apalagi perumusan kebijakan.’
Hasil ketidakpahaman dan ketiadaan komitmen dalam penanganan persoalan HAM, akhirnya hanya berujung pada saling lempar wacana dan tanggung jawab. Perdebatan HAM hanya melahirkan nama-nama populis dan antogonis tanpa sebuah kemajuan pada kasus, isu dan masa depan yang ingin dibangun. Suciwati tetap hampa menunggu keadilan atas kasus suaminya, Munir. Demikian juga Sumarsih, Widodo, dan banyak nama keluarga korban lainnya. Bahkan mereka menjadi renta satu per satu dimakan semangat dan penantian keadilan dan kebenaran.
Jika suatu saat Navi Pillay datang kembali ke Indonesia, mudah-mudahan situasi bisa lebih baik.
Haris Azhar adalah Koordinator KontraS. Ia memperoleh gelar Master of Arts untuk bidang HAM dari University of Essex UK. | This article originally appeared in : Lima Salah Kaprah Hak Asasi | Oleh KontraS | Newsroom Blog – Rab, 30 Jan 2013
No comments:
Post a Comment