Tik adalah suatu gerakan motorik — lazimnya mencakup suatu kelompok otot khas tertentu—yang tidak berada di bawah pengendalian tubuh, berlangsung cepat, berulang-ulang, dan tidak berirama. Tik kadang juga merupakan suatu hasil vokal yang timbul mendadak dan tidak memiliki tujuan yang nyata. “Tik ini tidak ada kaitannya sama sekali dengan gangguan saraf”
Gangguan tik dapat terjadi berkali-kali dalam sehari, bisa juga terjadi sebentar-sebentar selama jangka waktu lebih dari satu tahun, dan selama periode ini tidak pernah ada periode bebas tik lebih dari tiga bulan berturut-turut. Meski terkesan sepele, tik dapat menyebabkan stres yang ditandai dengan penurunan kualitas yang signifikan dalam kehidupan sosial, pekerjaan, atau pergaulan.
Pada penderita tik, terdapat gangguan penyampaian saraf dalam bahan kimiawi otak yang menyebabkan gangguan atau perilaku tak wajar. Gangguan in cukup banyak ditemukan. Literatur menyebutkan tik mempengaruhi 1 dari 100 orang dari berbagai lapisan masyarakat, tanpa membedakan ras dan suku bangsa. Tik biasa muncul sebelum seseorang berusia 18 tahun.
Sedangkan perilaku yang dialami, memiliki kaitan erat dengan perilaku obsesif, yaitu pikiran terhadap sesuatu yang tidak dapat dibuang atau disingkirkan. Kemudian hal itu muncul dalam perilaku yang tidak dapat disingkirkan sehingga sering disebut dengan gangguan obsesif kompulsif. “Ini perilaku berulang yang benar-benar tidak bisa disingkirkan dari pikiran orang itu”
Selain suka menghitung sesuatu, contoh lain pengidap gangguan obsesif kompulsif adalah mereka sering mencuci tangan tanpa sebab yang jelas, atau menyentuh beberapa bagian tubuh secara berulang-ulang. Masih masuk ke dalam kategori gangguan ini adalah kebiasaan mengetuk-ngetuk meja dengan ujung jari, menggerakkan dengkul, atau menggigit kuku. “Walaupun gerakannya berbeda, semua akar penyebabnya adalah kecemasan.”
Teori dasar psikologi menyebutkan bahwa psikologi memiliki kesejajaran dengan fisik. Itu artinya, apabila terjadi gangguan psikologis, pasti akan muncul gangguan fisik atau perilaku maupun sebaliknya. Secara alami, kecenderungan manusia adalah menekan gangguan-gangguan tersebut sehingga timbul kecemasan yang disimpan jauh di dalam, bahkan di alam bawah sadar.
Meski disimpan dalam-dalam, kecemasan tidak pernah mati. Yang terjadi kemudian adalah orang tersebut membangun sebuah “tembok” yang disebut defense mechanism atau mekanisme bertahan. Namun kecemasan ini berusaha menggedor mekanisme pertahanan itu sehingga terjadi rembesan kecemasan yang muncul dalam bentuk penampakan fisik.
“Itu sebabnya fisiknya yang berbicara,” kata Reza. Karena itu, satu-satunya cara mengurangi dampak fisik perilaku stereotip yang berulang hanya satu, yaitu mencari sumber terdalam dari kecemasan tersebut. Jika sudah ketemu, segera bereskan sehingga kecemasan tak lagi menjadi sumber gangguan.
This article originally appeared in : Tik Tidak Ada Kaitannya Dengan Gangguan Saraf
No comments:
Post a Comment