Kepolisian seolah tak mendengar kritik masyarakat mengenai cara penanganan terorisme yang sering kebablasan. Dalam sebuah penyergapan di Bali, polisi menembak mati lima orang yang diduga teroris. Tanpa penjelasan gamblang dan argumen logis, penembakan ini akan dianggap sebagai operasi serampangan, bahkan melanggar hak asasi manusia.
Alasan yang masuk akal itulah yang tidak muncul dalam penggerebekan oleh Detasemen Khusus 88 di Sanur, Bali. Jika betul kelompok yang ditengarai sebagai teroris ini melawan petugas, seberapa berbahaya mereka sehingga perlu dilumpuhkan hingga tewas? Soalnya, penembakan mati terhadap siapa pun baru diperbolehkan bila polisi dalam keadaan terancam jiwanya.
Tembakan mematikan semestinya dapat dihindari oleh detasemen yang sangat berpengalaman melumpuhkan teroris. Polisi sendiri mengaku telah mengawasi kelompok itu di Bali lebih dari sebulan lamanya. Apalagi, orang-orang yang diduga teroris ini jelas tak sekaliber Dulmatin, Azahari, atau Noor Din M. Top, yang sangat berbahaya. Satu orang yang ditembak mati dalam penyerbuan di kawasan Sanur ini hanyalah anggota kelompok yang diduga pernah merampok Bank CIMB Medan. Azahari mengenakan rompi bom bunuh diri dan menyimpan bahan peledak, sedangkan pada dua lokasi di Sanur itu hanya ditemukan dua pistol FN kaliber 11 mm dan tanpa bahan peledak. Di Sanur, kelompok ini justru ditemukan tengah bersama empat wanita penghibur.
Dengan tingkat ancaman belum seberapa seperti ini--mungkin para buron malah tengah bersenang-senang--sungguh aneh jika polisi kesulitan melumpuhkan mereka tanpa harus menelan korban jiwa. Pernyataan bahwa penegak hukum terpaksa menembak mati karena dibalas dengan tembakan harus benar-benar diuji. Kepala Polri perlu segera melakukan pemeriksaan internal dan audit investigatif atas tindakan aparat yang boleh jadi tidak prosedural ini. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia juga perlu menyelidiki kasus tersebut.
Dalam situasi ekstrem, eksekusi mati mungkin tak terelakkan. Tapi, dalam banyak penyerbuan, aparat tampak gampang betul memuntahkan peluru. Tim Investigasi Komnas HAM yang melakukan penelusuran di Aceh, Medan, dan Jawa Tengah bahkan pernah mengeluarkan laporan bahwa Densus 88 diduga banyak melanggar hak asasi manusia.
Tahun lalu detasemen yang telah berumur delapan tahun itu menembak mati tiga orang. Sebelumnya, enam orang dieksekusi dalam tiga penggerebekan. Kini, belum genap setengah tahun, mereka menembak lima orang yang diduga akan melakukan aksi teror dan perampokan di sejumlah tempat penukaran uang dan toko emas di Bali.
Secara hukum, pengambilan nyawa oleh aparat bisa dibenarkan jika telah ada putusan akhir dan telah diberikan kewenangan eksekusi oleh pengadilan. Kelima orang tersebut sangat jelas baru menyandang status buron dan sama sekali belum pernah disidangkan. Dengan begitu, tak boleh ada tindakan sewenang-wenang menembak mati seseorang tanpa yang bersangkutan mendapatkan hak untuk membela diri di depan hukum.
Menangkap pelaku hidup-hidup, menggali informasi seluas mungkin tentang jaringan kejahatan, justru lebih mempercepat pelemahan kelompok teroris ketimbang menembak mati mereka.
This article originally appeared in : Adili, Bukan Tembak Mati - Kamis, 22 Maret 2012 | 06:21 WIB
No comments:
Post a Comment