Golput = Golongan Putus Asa - Hampir setiap hari kita mendapatkan berbagai bentuk ajakan menggunakan hak pilih pada pemilu yang akan digelar pada 9 April nanti.
Tidak hanya KPU, para pemangku kepentingan seperti partai politik, caleg dan ormas juga turut andil mengingatkan masyarakat agar memilih para wakil mereka untuk masa lima tahun mendatang.
Ajakan-ajakan tersebut nampaknya cukup ramai di berbagai media massa dan elektronik.
Berbagai spanduk dan baliho pun ikut menghiasi ruang-ruang publik dengan pesan yang sama. Pesan utamanya adalah agar masyarakat tidak golput.
Golput atau lazim dikenal dengan golongan putih, tetap menjadi suatu tantangan pada setiap pemilu. Dengan melihat angka partisipasi pada tiga pemilu legislatif sebelumnya, banyak yang mengkhawatirkan tingkat partisipasi politik masyarakat pada pemilu 2014 ini.
Partisipasi masyarakat pada pemilu legislatif 1999 silam mencapai 93 persen, sedangkan pada 2004 hanya mencapai 84 persen, dan pada 2009 menurun lagi dan hanya mencapai 71 persen.
Dalam waktu 10 tahun (1999-2009) terjadi penurunan sekitar 20 persen tingkat partisipasi pemilih. (Sumber KPU 2013).
Bila penurunan terjadi secara linear, diperkirakan partisipasi pemilih pada pemilu legislatif tahun 2014 ini hanya sekitar 60 persen.
Angka tersebut tentunya tidak menggembirakan untuk sebuah negara dengan penduuduk yang besar walaupun negara kita masih dilabeli sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia.
Dengan angka demikian, trend golput yang sebelumnya pada pemilu legislatif 2009 mencapai 29 persen diperkirakan juga akan meningkat sehingga kelompok golput akan tetap menjadi pemenang pada pemilu legislatif kali ini.
Kelembagaan negarapun akan mengalami delegitimasi.
Memang tingkat kehadiran pemilih di TPS tidak serta merta menjadi penentu tunggal berkualitas atau tidaknya demokrasi yang diterapkan oleh suatu negara.
Namun keterlibatan masyarakat dalam memberikan hak suara mereka akan memberikan keabsahan atau legitimasi bagi pemilu itu sendiri dan suatu pemerintahan yang terbentuk setelahnya.
Dengan demikian, pemilu yang partisipatif dapat membantu mendorong terwujudnya demokrasi yang berkualitas. Selain itu, pemerintah yang akan berkuasa akan lebih percaya diri dalam menjalankan roda pemerintahannya.
Keputusan masyarakat untuk tidak memilih wakil rakyat yang akan mewakili mereka di parlemen bukanlah tanpa alasan.
Ada beberapa hal yang menyebabkan sebagian dari masyarakat untuk golput, di antaranya adalah tingkat melek politik (political literacy)yang rendah dan ketidakpercayaan (political distrust) yang menguat pada sebagian masyarakat.
Rendahnya tingkat melek politik masyarakat diakibatkan minimnya pendidikan politik yang didapatkan. Partai politik tidak memberikan perhatian yang serius terhadap permasalahan yang satu ini.
Selama ini sebagian besar partai politik terkesan hanya dekat dengan masyarakat ketika momen-momen pemilu tiba.
Sedangkan partai politik memiliki andil dalam meningkatkan pemahaman masyarakat berkaitan dengan pentingnya memilih, peran partai politik, posisi masyarakat dalam pemilu, aspirasi masyarakat dan sebagainya.
Tingkat melek politik yang rendah menjadikan masyarakat memandang pemilu sekadar memilih anggota dewan, setelah itu selesai.
Kondisi ini membuat masyarakat acuh dan enggan untuk menggunakan hak pilihnya. Alasannya sederhana, siapun yang terpilih sama saja dan tidak berdampak bagi kehidupan mereka.
Tidak heran mereka mungkin lebih tertarik dengan urusan ”perut” atau urusan personal lainnya ketimbang menyempatkan hadir di TPS walau hanya beberapa menit saja.
Rendahnya peran civil society dan kelompok-kelompok intelektual dalam memberikan edukasi politik pada masyarakat juga berperan secara tidak langsung menciptakan masyarakat yang apatis.
Selain itu KPU sebagai penyelenggara pemilu seharusnya tidak hanya bertanggung jawab pada pelaksanaan pemilu saja, tapi bagaimana menjalin kerja sama dengan seluruh komponen masyarakat dalam memberikan edukasi politik jangka panjang untuk menciptakan masyarakat melek politik dan cerdas dalam menentukan pilihan.
Ada pula masyarakat yang mungkin kesal dan frustasi terhadap kondisi bangsa yang ada saat ini sehingga mereka meyakini pemilu tidak akan membawa apa-apa.
Mereka mungkin sudah tidak percaya dan sinis pada semua caleg ataupun perangkat negara yang ada. Bagi mereka golput lebih baik ketimbang memilih, dan itulah pilihan yang terbaik.
Permasalahannya adalah ketika pilihan golput tidak hanya menjadi pilihan pribadi, tapi menjadi nilai yang disebarluaskan kepada orang lain sehingga golput menjadi pilihan kolektif.
Persoalan-persoalan politik dan bangsa seolah-olah menjadi pembenaran ajakan untuk golput. Bila kita perhatian komentar-komentar di sosial media berkaitan dengan politik dan pemilu, tidak terhitung jumlah komentar-komentar bernada sinis dan banyak juga yang terkesan ”asal ngomong”.
Menurut penulis, mereka adalah golongan putus asa, setidaknya untuk saat ini. Golongan putus asa ini menjadi fenomena menjelang pemilu yang semakin dekat.
Beberapa masyarakat kita yang golput nyatanya lumayan kritis dalam mengomentari ”ketidakberesan” yang sedang terjadi di negeri ini.
Namun perbuatan mereka tidaklah berkontribusi sama sekali terhadap perubahan atau apa yang mereka keluhkan. Seseorang yang telah menentukan pilihan, wajar mengkritisi ketika wakilnya tidak mencerminkan apa yang diidealkannya. Namun akan aneh bagi orang yang golput untuk melakukan hal yang semacam demikian.
Di tengah masyarakat yang egois, sinis, dan apatis, ajakan golput akan menjadi riak-riak pada demokrasi kitadan menambah dinamika dalam pemilu legislatif tahun ini.
Dan tentunya diantara itu semua, masih ada optimisme pada masyarakat kita untuk menitipkan harapan dan kepercayaan pada wakil yang mereka pilih nanti.
Sebaik-baiknya pilihan adalah pilihan rasional, teliti, dan hati-hati dalam melihat rekam jejak yang dimiliki oleh partai politik dan calegnya.
Setidaknya inilah ikhtiar yang dapat dilakukan oleh masyarakatyang akan menggunakan hak pilih mereka. Ini jauh lebih baik daripada hanya menjadi golongan putus asa.
Luerdi, Mahasiswa Pascasarjana Prodi Ilmu Politik Unri.
This article originally appeared in : Fenomena Golongan Putus Asa | riaupos.co | Luerdi |27 Maret 2014 - 08.58 WIB
No comments:
Post a Comment