Pelanggaran Konstitusi dan Tindak Pidana Korupsi Dibalik Kebijakan LPG 3 Kg - Metro TV Melalui acara Sentilan Sentilun hari Senin malam 13 Januari 2014 yang meperbincangkan bisnis LPG (Liquiid Petroleum Gas), sungguh membuka pemahaman bahwa sebenarnya peristiwa tindak pidana korupsi telah terjadi dengan berkemasan formal kebijakan publik.
Disebut bisnis karena melibatkan aktor pebisnis importir LPG yang perolehan harga belinya fluktuatif ikuti harga pasar dunia sehingga setiap kebijakan penaikan harga jual lokal adalah potensial melanggar Putusan MKRI 21 Desember 2004 tentang UU MiGas terkait konstitusi UUD45. Pelanggaran konstitusi apalagi dilakukan dengan sadar jelas adalah terduga satu tindak kejahatan terhadap konstitusi.
Disebut berkemasan kebijakan publik karena LPG itu komoditas niaga ex impor yang digiring jadi bahan bakar rumah tangga pengganti minyak tanah. Di pasaran lokal kini dikenali 4 pilihan kemasan LPG, tabung hijau muda 3 kg, tabung biru 12 kg, tabung hijau tua 12 kg dan tabung coklat mas 14 kg.
Disebut ex impor karena sebetulnya kontraproduktif terhadap LNG atau Liquid Natural Gas ex lokal yang justru diekspor dengan harga murah ke negara-negara industri pengekspor komoditas produk-produk manufaktur ke pasaran lokal bernilai tambah tinggi seperti transportasi darat (motor, mobil, truk), alat-alat konstruksi berat, komunikasi, mesin-mesin pabrik dsb.
Itupun dilekatkan bea masuk tinggi yang ujung-ujungnya jadi beban ongkos di pihak konsumen alias rakyat pengguna, padahal seharusnya bea masuk ringan atau nihil sepanjang diproduksi di negara asalnya dipakai LNG ex Indonesia, ini kalau kebijakan pemerintah berorientasi benar-benar Pro Rakyat.
Fluktuasi harga pasar dunia diantisipasi pemerintah dengan mekanisme subsidi yang diklaim rugikan neraca keuangan korporat negara (BUMN), padahal sebagai agen pembangunan sudut pandang peran BUMN jelas beda dengan korporat swasta.
Kalaupun dipaksakan sebagai berstatus penyebab kerugian negara, seharusnya para pembijak atas peristiwa pengadaan LPG itu dapat dikategori sebagai terduga tindak pidana korupsi pula.
Apalagi terjadi dampak lain daripada fluktuasi kebijakan harga eceran yaitu agen pengecer yang sempat stok tabung isi LPG dengan harga pasokan tinggi harus menanggung rugi ketika harga eceran ditetapkan turun dalam waktu mendadak (sudden loss). Maka seharusnya ganti rugi dilakukan pemasok LPG tersebut, dalam hal ini korporat negara pemegang hak impor dan hak disribusi lokal LPG itu.
Semoga kasus LPG ini jadi pembelajaran yang signifikan bagi aksi para pembijak kenegaraan untuk berhati-hati dalam melakukan kebijakan publik yang berpotensi pelanggaran konstitusi dan tindak pidana korupsi.
This article originally appeared in : Politik LPG, Kejahatan Konstitusi, Pidana Korupsi | pelitaonline.com | Rabu, 15 Januari 2014 08:10 | Pandji R Hadinoto
No comments:
Post a Comment